Menanti RUU Perampasan Aset Terwujud, Ahli Hukum Unair Sebut Pelaku Tidak akan Menikmati Hasil Korupsi
- Penulis : Ulil
- Selasa, 17 Desember 2024 14:12 WIB
Oleh karenanya, ia menuturkan regulasi NCB membutuhkan pendekatan hukum perdata yang terpisah dari hukum pidana karena jika digabungkan dengan UU Tipikor, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih yang menghambat implementasi NCB.
Meski potensial, Hardjuno menyoroti beberapa tantangan dalam penerapan NCB, salah satunya resistensi politik dan birokrasi.
Dirinya mengungkapkan bahwa banyak kasus korupsi melibatkan para aktor dari sektor politik dan birokrasi, yang bisa menghambat pelaksanaan instrumen NCB, sehingga dibutuhkan keberanian politik dan komitmen yang kuat dari pemerintah.
Baca Juga: Menkumham menunggu pembahasan undang-undang perampasan aset DPR
Ia juga menekankan perlunya sistem pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. Perampasan aset tanpa pemidanaan, lanjut dia, harus dilakukan secara transparan, dengan tetap menghormati hak asasi manusia.
"Proses ini tidak boleh melanggar prinsip keadilan, terutama terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam tindak pidana,” ujar Hardjuno.
Hardjuno turut menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam mengimplementasikan NCB lantaran sebagian besar aset hasil korupsi sering disembunyikan di luar negeri.
Baca Juga: Menkumham Tunggu Pembahasan RUU Perampasan Aset di DPR
Untuk itu, menurutnya, Indonesia perlu memperkuat perjanjian bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara lain, terutama yang menjadi surga bagi aset koruptor.
Dia pun mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia yang telah berhasil menggunakan NCB untuk memulihkan aset yang disembunyikan di luar negeri.
“Kita bisa belajar dari mereka. Dengan pendekatan yang tepat, NCB bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk memerangi korupsi,” ucap dia.***
Baca Juga: Pimpinan menuntut RUU perampasan aset yang sudah ada di DPR, tapi tidak mudah