DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Kisah Pemuda yang menyukai Seafood, Kini Berkontribusi pada Ketahanan Pangan

image
Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Crustea Roikhanatun Nafi’ah ketika ditemui di Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) 2025, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. (ANTARA/Putu Indah Savitri)

POLITIKABC.COM – Ketika menghadiri Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW) 2025, ekspektasi yang menyertai keberangkatan dari Indonesia ke Uni Emirat Arab adalah ramainya pameran teknologi keberlanjutan dari berbagai  negara.

Apakah ada yang berasal dari Indonesia? Pertanyaan tersebut terngiang-ngiang sepanjang perjalanan, dan perlahan-lahan berubah menjadi rasa penasaran yang menolak untuk diam bila tidak terjawab.

Alhasil, ketika tiba di lokasi gelaran ADSW 2025, denah pameran yang terletak di tengah-tengah koridor pun menjadi tujuan pertama. Harapan saat itu hanya satu, yakni menemukan ‘Indonesia’ dalam daftar yang dipenuhi oleh perusahaan asal Uni Emirat Arab, China, India, dan negara-negara lainnya.

Baca Juga: Seorang Pemuda di Jerman Diputus Bersalah di Pengadilan karena Kampanyekan Perdamaian dan Pro Palestina

Setelah menyisir ratusan perusahaan, akhirnya “Indonesia” pun ditemukan dalam kategori inovasi teknologi bersih, kategori yang didominasi oleh perusahaan asal India.

Adalah “Crustea”, salah satu perusahaan anak bangsa yang diundang untuk memperkenalkan produknya di ADSW 2025. Crustea membawa inovasi berupa teknologi akuakultur yang berkelanjutan.


Kecintaan pada makanan laut

Baca Juga: Catatan Denny JA: Renungan Sumpah Pemuda, Warna Nasionalisme di Era Algoritma

“Karena kami memang semuanya suka seafood (makanan laut), jadi bangun tambak, " demikian Pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Crustea Roikhanatun Nafi’ah menyampaikan hal tersebut ketika menceritakan awal mula berdirinya Crustea.

Nafi, sapaan akrabnya, mulai menjadi petambak udang bersama rekannya pada 2019. Perjalanannya menjadi petambak udang tidak berlangsung dengan mulus, sebab ketika musim panen tiba, ia justru mengalami gagal panen.

Kegagalan tersebut mengingatkan Nafi kepada berbagai interaksi sebelumnya dengan para petambak udang, khususnya yang ia temui sejak 2016, ketika masih berstatus sebagai mahasiswa di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Baca Juga: Pelajar di Banyuwangi Baca Ikrar Sumpah Pemuda dengan Memakai Busana Adat Nusantara

Kerugian yang ditanggung pun bukan sekadar kerugian bibit udang, melainkan mahalnya bahan bakar untuk diesel, biaya operasional tambak, dan lain-lainnya.

Halaman:
1
2
3
4
Sumber: ANTARA

Berita Terkait