Pengamat Politik: Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak 2024 Sesuatu yang Paradoksal
- Penulis : Ulil
- Kamis, 19 September 2024 10:55 WIB
POLITIKABC.COM - Mikhael Raja Muda Bataona, pengamat politik dan pengajar Ilmu Komunikasi Politik serta Teori Kritis di Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, menyatakan bahwa netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilkada serentak 2024 merupakan suatu paradoks.
Ia menjelaskan bahwa meskipun ASN memiliki preferensi politik, mereka harus mengekangnya dalam pikiran dan hati, sementara di dunia nyata dan media sosial harus berperilaku seolah-olah netral.
"Menurut saya, netralitas ASN itu sesuatu yang paradoksal karena di satu sisi para ASN juga warga negara dalam republik yang memiliki hak pilih tetapi mereka diwajibkan harus netral saat kampanye politik dan proses politik. Ini tentu rumit," kata Mikhael Bataona di Kupang, Kamis 19 September 2024.
Baca Juga: BKPSDM Sebut Bali Terima 105 Formasi CPNS, Berikut Rinciannya
"Jelas bahwa ini sebuah situasi yang sungguh paradoksal. Artinya, menurut saya, yang perlu diawasi itu bukan para ASN, tetapi para pemimpin birokrasi, terutama para penjabat kepala daerah karena mereka ini memiliki posisi powerful untuk menggerakkan mesin birokrasi," katanya.
Penjabat kepala daerah bisa menjadi 'Man Be Hind The Gun' untuk kepentingan politik tertentu dengan menggunakan tangan-tangan ASN yang menjadi bawahan mereka.
Dalam sistem kerja dengan model patron klien seperti di birokrasi, hak ini rentan terjadi, kata Bataona yang juga pengajar Investigatif News dan Jurnalisme Konflik pada FISIP Unwira Kupang itu.
Dalam hubungan dengan itu, yang paling mendesak saat ini adalah mendesak para penjabat kepala daerah untuk netral, di mana, masalah netralitas seorang penjabat daerah ataupun pejabat negara dalam politik praktis adalah tuntutan moral dan etis yang levelnya lebih tinggi dari sekedar tuntutan pekerjaan biasa.
Artinya, posisi tuntutan ini lebih tinggi sehingga membutuhkan semacam kesadaran moral untuk menjalankannya dengan kesungguhan hati.
Sebab, setiap penjabat negara disumpah untuk menjalankan semua peraturan perundang-undangan secara sungguh-sungguh, termasuk bersikap netral dalam politik, meskipun pejabat negara memiliki hak politik untuk memilih tetapi dilarang dengan sangat keras untuk berpolitik praktis.
Baca Juga: Muncul Gerakan Kampanye Kotak Kosong Melawan Petahana, KPU Trenggalek Pertanyakan Legalitasnya
Alasannya karena penjabat negara memiliki kekuasaan dan seluruh sumber daya untuk mempengaruhi hasil Pemilu.
Masalahnya adalah, kata dia sudah menjadi adagium yang berlaku umum bahwa kekuasaan itu demikian menggoda sehingga banyak orang rela menderita demi kekuasaan, termasuk rela mengangkangi aturan untuk konsolidasi elektoral dalam rangka kepentingan pemenangan paslon tertentu yang didukung.
Para Penjabat sering kali menjadi wayang yang menjalankan perintah yang ada di belakang mereka, sehingga untuk menjaga netralitas pejabat dalam pilgub dan pilkada kali ini, pihak penyelenggara perlu memiliki semacam aturan-aturan kaku (rigid) dan jelas, juga keberanian untuk menindak. Tanpa keberanian maka akan sulit, kata Bataona menambahkan.***