Angkatan Puisi Esai, Sebuah Angkatan Sastra Sui Generis
- Penulis : Ulil
- Minggu, 15 Desember 2024 07:36 WIB
Saya menjadi sasaran permusuhan sengit dan di media sosial disebut sebagai "Pembunuh Sastra Indonesia", dengan peringatan untuk tidak datang ke Indonesia lagi.
Salah satu komentar paling membingungkan datang dari seorang penyair Indonesia yang menikah dengan perempuan Jerman, yang menulis di Facebook: "Buku sampah itu [buku 33 Tokoh] sangat layak dibakar dan para penyusunnya dibuang ke Auschwitz."
Melihat kembali, polemik dan kehebohan tahun 2015 tentang puisi esai dan buku "33 Tokoh" memang terlihat konyol dan absurd, tetapi tetap akan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia.
Maka dapat dikatakan, bahwa karena puisi esailah, saya pun akan menjadi catatan pinggir dalam sejarah sastra Indonesia.
Dan kini, sepuluh tahun kemudian, di tahun 2024, saya berurusan lagi dengan puisi esai, kali ini dalam kaitan dengan sebuah seri buku berjudul "Angkatan Puisi Esai".
Akankah buku-buku ini, yang dapat dipahami sebagai postulat keberadaan sebuah "Angkatan Puisi Esai", kembali menimbulkan kontroversi tajam di kalangan publik sastra Indonesia?
Ini sudah bisa diduga, meskipun mungkin tidak akan mencapai tingkat sengit dan tidak objektifnya polemik di tahun 2015.
Mungkin kali ini akan ada lebih sedikit diskusi tentang apakah puisi esai memenuhi syarat sebagai genre sastra.
Menyangkal hal ini memang sudah menjadi semakin sulit sejak Kamus Besar Bahasa Indonesia menggunakan istilah "puisi esai" sebagai istilah baku dan sejak ratusan penulis secara terus-menerus menuliskan karya yang mereka definisikan sebagai "puisi esai".
Baca Juga: Catatan Denny JA: Dana Abadi untuk Festival Tahunan Puisi Esai
Agaknya, sehubungan dengan pencanangan "Angkatan Puisi Esai", peran Denny JA sebagai maesenas gagasan dan tujuannya sendiri akan kembali dikritik dengan menyatakan bahwa itu saja yang menyebabkan keberhasilan puisi esai dan kegiatannya yang lain di bidang sastra.