DECEMBER 9, 2022
Kolom

Wayang Kulit Sasak, Media Komunikasi Lintas Budaya

image
Salah satu adegan dalam pertunjukan wayang Sasak yang dipentaskan oleh maestro dalang Lalu Nasib AR dalam acara Museum Begawe di Lapangan Kolaborasi Museum NTB, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Padahal jam baru menunjukkan pukul 23.00 WITA, namun sudah tidak ada lagi anak-anak yang berlarian di depan panggung dan tidak ada pula keluarga-keluarga yang bertahan menikmati seni pertunjukan tersebut.

Ketua Majelis Adat Sasak, Lalu Sajim Sastrawan, mengatakan wayang Sasak harus berteman dengan zaman untuk bisa bertahan di tengah arus modernisasi yang kini terjadi.

Pertunjukan wayang yang biasanya dimulai malam hari dan berlangsung hingga dini hari harus bisa ditampilkan pada siang melalui ruang-ruang teater tertutup. Itu cara agar bisa masuk ke lapisan generasi muda.
Wayang Sasak yang berkembang sejak abad ke-16 bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Pulau Lombok masih bertahan sampai kini, namun berhenti pada Generasi Baby Boomers yang lahir rentang tahun 1946-1964, Generasi X yang lahir tahun 1965-1979, dan Generasi Y atau Milenial yang lahir antara tahun 1980-1994.

Baca Juga: Merawat Jalan Kebudayaan di Kampung Jambuan Jember, Ajarkan Anak-anak Tentang Kearifan Lokal

Orang-orang yang lahir rentang tahun itulah yang kini menjadi penonton setia pertunjukan wayang Sasak. Bila jam pertunjukan diubah ke siang, maka Generasi Z yang lahir tahun 1995-2009 dan Generasi Alpha yang lahir tahun 2010-2024 bisa menjadi penonton wayang Sasak.

Pemerintah perlu menggerakkan para murid dan mahasiswa dari Generasi Z dan Generasi Alpha untuk menonton wayang Sasak agar mereka memetik pelajaran sejarah-budaya, moral, dan filosofi hidup dari setiap alur cerita yang dibawakan dalang. Taman Budaya memiliki ruang teater tertutup yang bisa dipakai untuk menggelar berbagai pertunjukan wayang Sasak.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat menyebut ada 53 dalang wayang Sasak yang tersebar di Pulau Lombok, sebanyak lima di antaranya adalah dalang cilik. Para dalang cilik inilah yang menjadi tumpuan utama regenerasi dalang-dalang sepuh yang kini masih mementaskan wayang Sasak.

Baca Juga: Makanan Tradisional Krecek Bung dari Lumajang Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Alur cerita wayang Sasak perlu dikemas agar sesuai dengan kondisi terkini, tidak melulu tentang cerita-cerita kerajaan. Topik yang erat kaitannya dengan generasi muda, seperti perubahan iklim, pemanasan global, krisis energi, krisis pangan, ataupun konflik geopolitik bisa disisipkan dalam alur cerita pewayangan.

Wayang Sasak adalah media diplomasi dan komunikasi lintas budaya yang harus berteman dengan zaman. Seni pertunjukan wayang Sasak merupakan guru dalam berbudaya yang harus terus lestari.***

Halaman:
1
2
3
4
Sumber: Antara

Berita Terkait