DECEMBER 9, 2022
Kolom

Wayang Kulit Sasak, Media Komunikasi Lintas Budaya

image
Salah satu adegan dalam pertunjukan wayang Sasak yang dipentaskan oleh maestro dalang Lalu Nasib AR dalam acara Museum Begawe di Lapangan Kolaborasi Museum NTB, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Oleh: Sugiharto Purnama

POLITIKABC.COM - Lalu Nasib AR (83 tahun) memulai perjalanannya malam itu dengan menceritakan kisah transisi kepemimpinan Raja Jayengrane kepada putra mahkotanya yang bernama Maryunani dalam sebuah pementasan wayang kulit Sasak.

Raja Jayengrane adalah tokoh generasi tua, sedangkan anaknya Maryunani adalah tokoh generasi muda. Proses perpindahan kekuasaan itu tidak berjalan mulus karena ada pengaruh dari para punggawa, seperti alam daur dan selandir.

Baca Juga: Merawat Jalan Kebudayaan di Kampung Jambuan Jember, Ajarkan Anak-anak Tentang Kearifan Lokal

Kebijaksanaan yang dimiliki Raja Jayengrane dalam memandang setiap masalah dan sifat mengakui kesalahan yang ada pada diri Maryunani membuat konflik mereka berdua akhirnya padam. Itu adalah garis besar cerita wayang Sasak yang disuguhkan oleh Lalu Nasib AR.

Jarum jam analog menunjukkan pukul 20.50 WITA, pada Sabtu (21/9/2024). Di Lapangan Kolaborasi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat yang terletak di jantung Kota Mataram padat pengunjung. Orang-orang yang tadinya menyebar di sekitaran stan produk UMKM perlahan mulai merapat ke depan panggung saat mendengar bebunyian alat musik tradisional.

Di atas panggung setinggi 1,5 meter yang diselimuti terpal berwarna biru, Lalu Nasib AR menyiapkan sejumlah aktor wayang Sasak. Wayang-wayang itu terbagi dua yang ditempatkan pada sisi kanan sebagai tokoh baik dan sisi kiri sebagai tokoh jahat.

Baca Juga: Makanan Tradisional Krecek Bung dari Lumajang Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Kain putih menjadi latar belakang dalam pertunjukan tersebut. Lampu pijar yang temaram memancarkan warna jingga menegaskan setiap lekuk wayang Sasak melalui bayangan-bayangan hitam.

Bagi etnis Sasak yang mendiami Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat, wayang Sasak merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai media komunikasi yang efektif menjangkau khalayak.

Jauh sebelum ada televisi dan bioskop, wayang Sasak digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan bernilai filosofi tentang kehidupan, sosial-budaya, maupun agama.

Baca Juga: Pj Bupati Lebak Gunawan Rusminto Janjikan Jalan Menuju Wisata Budaya Badui akan Mulus di 2025

Wayang Sasak mengambil cerita Menak yang sumber kisahnya tentang kehidupan Amir Hamzah yang merupakan paman Nabi Muhammad SAW. Tokoh Amir Hamzah punya banyak gelar dalam cerita pewayangan Sasak, salah satunya Raja Jayengrane.

Lalu Nasib AR mendongak saat musik tradisional memasuki tempo allegro dan sesekali membetulkan sapuk (ikat kepala) yang menutupi ubun-ubunnya. Tangan sang maestro wayang Sasak itu menggenggam erat gapit yang bergerak meliuk menciptakan perseteruan sengit antara wayang kanan dan wayang kiri.


Tak sekadar pertunjukan

Baca Juga: Tiga Seniman di Kabupaten Banyuwangi Menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia dari Kemendikbudristek

Wayang Sasak adalah instrumen komunikasi simbolik yang awalnya digunakan untuk media dakwah agama Islam di Pulau Lombok. Setiap tokoh wayang punya moral beragam yang menjadi pedoman dan pembelajaran bagi masyarakat.

Selain berfungsi untuk syiar agama, wayang Sasak juga berperan sebagai alat pendidikan, media penerangan, dan sarana hiburan.

Buku berjudul Wayang Sasak yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengembangan Permuseuman Nusa Tenggara Barat pada tahun 1987 menyebutkan bahwa wayang merupakan salah satu unsur kebudayaan asli Indonesia dan telah ada sebelum kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia.

Baca Juga: Kejati Sumatra Selatan Menetapkan Tiga Tersangka Kasus Korupsi Pembangunan Sarana Kereta Api Senilai Rp1,3 Triliun

Saat itu wayang berfungsi sebagai personafikasi perwujudan para leluhur. Setelah kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia, sekitar abad ke-5 masehi, pewayangan mendapat pengaruh yang lebih luas terutama dalam mewujudkan tema dan bentuknya yang lebih disempurnakan.

Sejak 1976 hingga sekarang, Museum Negeri Nusa Tenggara Barat terus berusaha menyimpan, memelihara, dan memperkenalkan wayang Sasak sebagai salah satu bagian dari koleksi museum pelat merah tersebut.

Pada 21 September 2024, acara bertajuk Meseum Begawe yang menyuguhkan pagelaran wayang Sasak adalah salah satu upaya Museum Negeri Nusa Tenggara Barat dalam merawat tradisi tutur dan pentas wayang Sasak.

Baca Juga: KPAI Minta Semua Pihak Tidak Mentolerir Budaya Kekerasan di Kalangan Anak

"Museum berkepentingan untuk melestarikan itu agar pelestariannya bisa kami teruskan ke generasi mendatang," kata Kepala Museum Nusa Tenggara Barat Ahmad Nuralam.

Pagelaran wayang Sasak yang menghadirkan maestro Lalu Nasib AR adalah bentuk apresiasi dan pelestarian Museum Negeri Nusa Tenggara Barat terhadap seni pertunjukan tradisional di Pulau Lombok.

Pada tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui surat keputusan nomor 238/M/2013 menetapkan wayang Sasak sebagai warisan budaya tak benda dari Nusa Tenggara Barat yang masuk ke dalam domain seni pertunjukan.

Baca Juga: Sekjen SATUPENA Satrio Arismunandar: Festival Ubud Bisa Mendorong Kolaborasi Kreatif antara Penulis hingga Seniman

Sebagai sebuah tontonan yang digandrungi masyarakat, dalang tak hanya bertugas memimpin jalan cerita melainkan juga berperan sebagai juru penerang yang acapkali menyelipkan ajaran-ajaran Islam.

Dalang juga bisa secara langsung memberikan penyuluhan kepada masyarakat, seperti kampanye pengurangan sampah plastik, propaganda keluarga berencana, penyuluhan program pembangunan, maupun kampanye politik.

Guyonan segar yang dilontarkan dalang dalam membawakan alur cerita pewayangan menjadi hiburan yang membius penonton untuk selalu tertawa, senang, dan bahagia. Bahkan, penonton bisa teriak histeris saat tokoh utama gugur saat perang.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Seniman yang Tak Kembali

Di dalam semiotika wayang Sasak, layar putih kosong yang dikelilingi warna hitam merepresentasikan bahwa awal mula alam semesta diciptakan kosong tanpa penghuni. Adapun lampu wayang atau belencong yang dinyalakan menandakan cahaya Tuhan yang memberi kehidupan bagi alam semesta.

Ragam kejadian yang ditampilkan dalam cerita wayang Sasak berkelebat sangat cepat. Penonton dibuat kembali ke masa lalu, kemudian seketika terhempas kembali ke masa kini.


Berteman zaman

Malam kian laut. Bulan perlahan naik ke titik zenit dan langit berubah menjadi sedikit terang. Bintang-bintang bertaburan dengan hawa dingin yang terbawa hembusan angin.

Lapangan terbuka yang menjadi lokasi maestro dalang Lalu Nasib AR menampilkan pertunjukan wayang Sasak - di seberang Museum Negeri Nusa Tenggara Barat - mulai terasa senyap, bahkan kafe yang ada di sebelah tidak lagi terdengar berisik.

Jalan raya yang ramai dilalui kendaraan, satu demi satu kian sedikit. Sedangkan, di tengah lapangan orang-orang yang awalnya ramai menyaksikan pagelaran wayang hanya tersisa beberapa saja.

Padahal jam baru menunjukkan pukul 23.00 WITA, namun sudah tidak ada lagi anak-anak yang berlarian di depan panggung dan tidak ada pula keluarga-keluarga yang bertahan menikmati seni pertunjukan tersebut.

Ketua Majelis Adat Sasak, Lalu Sajim Sastrawan, mengatakan wayang Sasak harus berteman dengan zaman untuk bisa bertahan di tengah arus modernisasi yang kini terjadi.

Pertunjukan wayang yang biasanya dimulai malam hari dan berlangsung hingga dini hari harus bisa ditampilkan pada siang melalui ruang-ruang teater tertutup. Itu cara agar bisa masuk ke lapisan generasi muda.
Wayang Sasak yang berkembang sejak abad ke-16 bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Pulau Lombok masih bertahan sampai kini, namun berhenti pada Generasi Baby Boomers yang lahir rentang tahun 1946-1964, Generasi X yang lahir tahun 1965-1979, dan Generasi Y atau Milenial yang lahir antara tahun 1980-1994.

Orang-orang yang lahir rentang tahun itulah yang kini menjadi penonton setia pertunjukan wayang Sasak. Bila jam pertunjukan diubah ke siang, maka Generasi Z yang lahir tahun 1995-2009 dan Generasi Alpha yang lahir tahun 2010-2024 bisa menjadi penonton wayang Sasak.

Pemerintah perlu menggerakkan para murid dan mahasiswa dari Generasi Z dan Generasi Alpha untuk menonton wayang Sasak agar mereka memetik pelajaran sejarah-budaya, moral, dan filosofi hidup dari setiap alur cerita yang dibawakan dalang. Taman Budaya memiliki ruang teater tertutup yang bisa dipakai untuk menggelar berbagai pertunjukan wayang Sasak.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat menyebut ada 53 dalang wayang Sasak yang tersebar di Pulau Lombok, sebanyak lima di antaranya adalah dalang cilik. Para dalang cilik inilah yang menjadi tumpuan utama regenerasi dalang-dalang sepuh yang kini masih mementaskan wayang Sasak.

Alur cerita wayang Sasak perlu dikemas agar sesuai dengan kondisi terkini, tidak melulu tentang cerita-cerita kerajaan. Topik yang erat kaitannya dengan generasi muda, seperti perubahan iklim, pemanasan global, krisis energi, krisis pangan, ataupun konflik geopolitik bisa disisipkan dalam alur cerita pewayangan.

Wayang Sasak adalah media diplomasi dan komunikasi lintas budaya yang harus berteman dengan zaman. Seni pertunjukan wayang Sasak merupakan guru dalam berbudaya yang harus terus lestari.***

Sumber: Antara

Berita Terkait