Resensi Film Mufasa: The Lion King, Kisah Trauma Masa Kecil, Persahabatan hingga Pengkhianatan
- Penulis : Ulil
- Senin, 23 Desember 2024 12:38 WIB

Sayangnya, ayah Taka yang juga pemimpin kawanan tidak pernah menerima Mufasa sepenuhnya.
Meski diperbolehkan tinggal, Mufasa harus hidup bersama para betina, yang secara tidak langsung melatihnya menjadi singa yang peka, cekatan, dan andal seperti pemburu terbaik.
Di bawah arahan sutradara Barry Jenkins, yang sebelumnya sukses dengan Moonlight (2016), cerita ini penuh dengan kedalaman emosional.
Baca Juga: Inspirasi dari Film The Queen 2006: Kepemimpinan yang Bijaksana di Tengah Krisis
Jenkins menggali bagaimana trauma, kehilangan, dan pengkhianatan justru membentuk kekuatan dan kebijaksanaan dalam diri Mufasa.
Narasi berjalan dengan ritme yang seimbang, memadukan adegan emosional yang menyentuh dengan aksi yang mendebarkan.
Hubungan Mufasa dan Taka (yang kelak dikenal sebagai Scar) menjadi salah satu elemen menarik dalam film ini. Taka digambarkan sebagai karakter kompleks—penuh kecemburuan namun tetap memiliki sisi manusiawi. Dinamika ini memperkaya cerita, melampaui sekadar konflik antara baik dan jahat.
Baca Juga: Film di Balik 98: Refleksi Ketegangan Politik Masa Lalu dalam Cermin Krisis Demokrasi Hari Ini
Musik dalam film ini juga menjadi salah satu sorotan utama. Hans Zimmer kembali menghadirkan skor megah, didukung oleh kontribusi Pharrell Williams dan Lebo M. Musik tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga alat narasi yang memperkuat emosi di setiap adegan, dengan lagu-lagu baru yang harmonis bersama tema klasik seperti Circle of Life.
Selain menyajikan hiburan, film ini mengangkat isu universal seperti identitas, keberanian, dan pengorbanan. Perjalanan Mufasa mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya berasal dari kekuatan fisik, tetapi juga kebijaksanaan, kasih sayang, dan keberanian untuk membuat keputusan sulit.
Walau begitu, film ini bukan tanpa kekurangan. Beberapa bagian awal terasa lambat, seolah ingin memastikan setiap detail emosional tersampaikan. Namun, pendekatan ini justru memperkuat ikatan penonton dengan karakter.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Air Mata Jurnalis Perang, Inspirasi dari Film Lee
Tantangan lain adalah bagaimana Mufasa belum sepenuhnya tampil segagah harapan sebagai calon raja, terutama karena film ini juga dirancang untuk penonton anak-anak, sehingga adegan brutal hanya ditampilkan secara simbolis.