DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Denny JA: Kincir Angin Tak Bisa Menahan Rinduku

image
Puisi Denny JA: Kincir Angin Tak Bisa Menahan Rinduku. (Politikabc.com/kiriman)

POLITIKABC.COM - Di usia senja, di Amsterdam, Sarjono rindu pulang ke Indonesia. Tapi trauma politik tahun 1960-an, lebih kuat membayang.

-000-

Dari jendela rumah, di kota  
Amsterdam, kincir angin berputar, meniup langit.
Tapi angin yang sampai padanya,  
membawa harum pematang sawah,  
dan aroma kampung halamannya yang jauh—  
Kota Malang, tempat kenangan tertinggal.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Pemulung Itu Seorang Doktor

Awan di Amsterdam menggambar pepohonan rindang,  
di sepanjang jalan menuju Alun-Alun Tugu, di Kota Malang,
tempat ia pernah tertawa lepas dengan teman-teman.

Tulip yang mekar di musim semi,  
di Belanda,  
berubah menjadi melati putih yang mekar di beranda rumah, di Kota Malang, 
melati yang dulu ia petik untuk ibu,  
sebelum segalanya berubah.

Burung yang terbang di Amsterdam,  
membawa  nasi rawon hangat,  
yang selalu ia nikmati di pagi sejuk kampung halaman.

Baca Juga: Puisi Denny JA: 12 Jam Protes Berbaring di Jalan Raya

“Oh, Kota Malang,  
aku tak pernah benar-benar meninggalkanmu,  
tapi pulang ke sana kini terasa semakin jauh,  
seperti mimpi yang tak terjangkau."

Sarjono semakin tua,  
usia 85 menghantam tubuhnya,  
setiap hari adalah pertarungan melawan rindu  
yang tak pernah terobati.

-000-

Baca Juga: Puisi Denny JA: Ibu, Kukirim Nyawaku Padamu, Sampaikah?

Pagi itu, masa lalu menyeretnya kembali.  
Tahun 1960-an, awalnya berwarna cerah, berubah hitam.  

Ia pergi ke Moskow, penuh harapan.  
Mengejar ilmu, membangun tanah air,  
tapi sejarah menebasnya dari belakang,  
membawa gelap yang tak terduga.  

Bung Karno tumbang.  
Pulang berarti dipenjara.  
Masa depan digulung, menjadi kertas yang dibakar,  
hilang begitu saja.  

Baca Juga: Puisi Denny JA: Negaraku Hilang, Kekasihku Sirna

Tak ada jalan pulang bagi mereka yang ditandai,  
bagi mereka yang belajar di blok Timur.

Seperti burung yang patah sayap,  
Sarjono terjatuh, terasing di negeri yang dingin.  
Dari Moskow, ia tersapu ke Amsterdam,  
kota yang  hampa,  
sebuah pelarian yang tak menawarkan kehangatan.  

Setiap langkahnya di Belanda,  
selalu dihantui jejak-jejak yang tertinggal di tanah airnya.

-000-

Di tahun dua ribu dua puluh dua,  
Jokowi membuka lembar luka lama,  
mengakui kesalahan yang telah merobek bangsa,  
hak-hak yang direnggut,  
mereka yang terusir dan tak lagi bisa pulang.

Dalam janji yang terdengar tegas,  
Jokowi tawarkan jalan pulang,  
bagi eksil yang terbuang,  
bagi mereka yang masih menyimpan rindu di kejauhan.

Sarjono mengemasi harapannya,  
tapi teman-temannya bersuara,  
"Tidak cukup! Maaf harus terdengar,  
tanpa itu, luka tak akan sembuh,  
rindu tetap akan berdarah."  

Akhirnya, jalan pulang itu tertutup kembali,  
Kata sepakat tak pernah bertemu.

-000-

Dari jendela, Sarjono menatap kincir angin yang terus berputar,  
seperti roda hidupnya, yang bergerak,  
namun selalu tertahan di tempat.  

Ia seperti burung yang tersangkut di dua sarang—  
Amsterdam memberi kehidupan,  
namun Kota Malang menahannya dengan rindu yang tak terurai.

Salju turun di Amsterdam membawa pesan yang tak tertulis,  
bahwa tubuh mungkin tak akan pernah pulang,  
tapi jiwa,  
akan selalu berkelana di pematang sawah yang basah,  
di jalanan Kota Malang yang beraroma tanah hujan.

Air matanya jatuh perlahan,  
melukis merah putih di dadanya,  
sebuah cinta yang tak pernah layu,  
meski tak pernah sampai rumah.***

CATATAN

(1) Diinsipirasi, dan ditambahkan fiksi, dari kisah pelajar Indonesia yang terbuang ke luar negeri karena prahara politik tahun 1960-an: Andreas Sungkono

Berita Terkait