APVI Nilai Kebijakan Larangan Menjual Produk Tembakau Alternatif akan Mempersempit Ruang Pelaku Usaha
- Penulis : Ulil
- Sabtu, 14 September 2024 09:21 WIB
POLITIKABC.COM - Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) mengkritik kebijakan larangan penjualan produk tembakau alternatif di media sosial yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini akan memberikan beban tambahan bagi pelaku UMKM.
Sekretaris Jenderal APVI, Garindra Kartasasmita, menjelaskan bahwa industri produk tembakau alternatif mayoritas terdiri dari usaha kecil dan menengah (UMKM) yang berbasis komunitas.
APVI mengungkapkan kekhawatirannya terhadap berbagai pasal dalam PP 28/2024 dan aturan turunannya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang dianggap masih perlu dipertanyakan.
Baca Juga: Menkeu: Penerimaan cukai hasil tembakau Rp18,41 triliun per Januari 2023
"Dengan adanya larangan menjual di media sosial, maka semakin mempersempit ruang pelaku usaha untuk mengedukasi konsumen," ujar Garindra, Sabtu 14 September 2024.
Salah satu pasal PP 28/2024 yang berpotensi semakin mengancam kelangsungan industri tersebut adalah ketentuan larangan menjual produk tembakau alternatif di media sosial.
Di samping itu, RPMK yang masih berupa rancangan juga memuat ketentuan kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau dan rokok elektronik. Keduanya dinilai memberatkan bagi pengusaha kecil dan menengah.
Mengutip PP 28/2023 pada Pasal 434 Ayaf F disebutkan bahwa "setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial".
"Dengan pasal-pasal yang ada justru semakin lebih berat karena kami menggunakan media sosial untuk mengedukasi konsumen dewasa. Produk kami memenuhi unsur edukasi, tetapi kalau dilarang beriklan bagaimana kami bisa memerangi produk ilegal?" ungkap Garindra
Lebih lanjut, kata dia, perilaku konsumen produk tembakau alternatif memiliki karakteristik tersendiri. Oleh sebab itu, penggunaan media sosial menjadi instrumen yang penting bagi pelaku usaha untuk menjangkau konsumen dewasa guna mendorong pertumbuhan bisnis.
"Konsumen dewasa kami banyak yang menggunakan media sosial. Kami saat ini sudah terdampak. Di tahun ini, kami sudah mengalami penurunan penjualan 50 persen secara month to month," ujar Garindra.
Di sisi lain, verifikasi umur pun dapat dilakukan di media sosial. Pelaku industri rokok elektronik juga sudah proaktif mencegah pembelian oleh anak-anak. APVI pun memastikan bahwa rokok elektronik hanya diperuntukkan bagi konsumen dewasa, dan anggotanya patuh pada regulasi batas usia.
Untuk diketahui, APVI menjadi bagian dari 20 organisasi lintas sektor industri hasil tembakau yang menandatangani petisi menolak ketentuan kemasan polos tanpa merek pada RPMK serta sejumlah pasal bermasalah pada PP 28/2024 di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Penolakan dilakukan karena kebijakan tersebut dibentuk tanpa mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi yang berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional.
"Industri saat ini sedang sangat prihatin. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait," kata Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani.
Di tengah lesunya perekonomian nasional dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak menutup kemungkinan, nasib industri produk tembakau alternatif akan mengikuti jejak industri manufaktur seperti tekstil, garmen, dan alas kaki yang lebih dulu melakukan pemangkasan karyawan.
Sebagai informasi, Kementerian Kesehatan tengah membahas RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Produk turunan dari PP 28/2024 ditargetkan rampung pada minggu ketiga September 2024.***