Kariernya di dalam gereja berkembang pesat, meskipun ia sering kali menolak perhatian atau kemewahan yang menyertai posisinya.

Sejak awal, Paus Fransiskus memperlihatkan pendekatan yang sangat berbeda dari para pendahulunya. 
Salah satu hal pertama yang ia lakukan setelah terpilih adalah menolak tinggal di Istana Apostolik dan memilih tinggal di wisma tamu Vatikan. 

Ia ingin menjadi lebih dekat dengan umatnya dan menekankan bahwa Paus adalah seorang pelayan, bukan seorang raja. 

Baca Juga: Pemprov DKI Jakarta Keluarkan Surat Edaran agar Siswa Belajar dari Rumah Selama Misa Akbar Paus Fransiskus di GBK

"Gereja harus miskin dan untuk orang miskin," begitu kata Fransiskus dalam banyak kesempatan.

Selama kepemimpinannya, Paus Fransiskus telah mendorong berbagai reformasi, baik di bidang keuangan maupun dalam doktrin sosial gereja. 

Pada 2015, ia menerbitkan ensiklik Laudato Si', yang menyoroti krisis iklim dan pentingnya merawat bumi sebagai rumah bersama. 

Baca Juga: Berkunjung ke Indonesia, Paus Fransiskus Ingatkan Makna Bersedekah Tanpa Memandang Rendah

Ini adalah pertama kalinya seorang Paus begitu tegas berbicara tentang isu lingkungan, dan seruannya menggema di seluruh dunia, tidak hanya di kalangan Katolik. 

Namun, jalan yang ia tempuh tidak selalu mulus. Paus Fransiskus sering kali berhadapan dengan resistensi internal, terutama dari kelompok konservatif di dalam gereja yang menganggapnya terlalu progresif. 

Kebijakannya yang lebih inklusif terhadap LGBT, perceraian, dan reformasi dalam proses penanganan skandal seksual gereja menimbulkan perdebatan sengit di antara para pejabat gereja.

Baca Juga: Paus Memberkati Lukisan Karya Denny JA tentang Paus Fransiskus Membasuh Kaki Rakyat Indonesia 

Pengaruh Paus Fransiskus melampaui batas-batas agama. Ia menjadi simbol harapan bagi mereka yang merasa tertindas atau terpinggirkan.