Ahmadie Thaha Menanggapi Tulisan Denny JA: Memperluas Tafsir Kurban Hewan, Tak Sebatas Bahimatul An'am
- Penulis : Ulil
- Selasa, 13 Agustus 2024 08:36 WIB

Dia mengungkap bahwa “spesiesisme” membuat kaum muslimin, seperti banyak kelompok lain, merasa superior terhadap hewan dan memperlakukan mereka sebagai properti atau alat belaka.
Dia merangkum hukum Islam tentang hewan, dengan mengatakan bahwa umat Islam seharusnya “membunuh hewan hanya untuk memenuhi rasa lapar atau untuk melindungi diri dari bahaya.” Menurut Foltz, jika hukum ini dipatuhi, maka hewan akan diperlakukan jauh lebih baik.
Kesimpulan Foltz terdengar seperti khotbah seorang pegiat lingkungan yang mendesak kita semua untuk menahan keserakahan dan prokreasi kita, serta mengajak kita berkontribusi pada upaya menyelamatkan planet ini.
Baca Juga: Peluncuran 10 Video Mengulas Agama di Era Artificial Intelligence, Pemikiran Denny JA
Dia menyatakan bahwa cara kita hidup sekarang melampaui ketidakpedulian dan mendekati kegilaan. “Ini harus berubah,” katanya, karena “jika tren saat ini berlanjut, kita tidak akan bertahan.”
Upaya pemuliaan lingkungan dalam batas tertentu telah coba diangkat oleh para ulama di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam satu dekade terakhir, MUI telah menetapkan lima fatwa terkait lingkungan.
Terakhir, pada November 2023, MUI menerbitkan fatwa No. 86 Tahun 2023 tentang hukum pengendalian perubahan iklim global. Sebelumnya, MUI telah berfatwa tentang pertambangan ramah lingkungan, pelestarian satwa langka untuk menjaga keseimbangan ekosistem, pengelolaan sampah untuk mencegah kerusakan lingkungan, serta hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya.
Baca Juga: Respons atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Rights, Sebuah Tafsir yang Humanis
Namun, kecuali soal satwa langka yang harus dilestarikan, tidak satu pun fatwa MUI yang membahas soal hak-hak hewan hingga vegetarianisme. Karena itu, sudah saatnya isu hak-hak hewan hingga vegetarianisme didiskusikan secara lebih serius oleh para ulama kita.
Ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk memperkaya perspektif Islam dalam konteks keberlanjutan lingkungan hidup dan kesejahteraan hewan.
Juga tidak ada fatwa terkait ajaran fiqih seperti yang dikemukakan Foltz, yaitu bahwa “membunuh hewan hanya boleh dilakukan untuk memenuhi rasa lapar atau untuk melindungi diri dari bahaya.”
Dalam fatwanya tentang kurban, sebagaimana disebutkan oleh Denny JA, MUI memandang bahwa kurban hewan tidak dapat digantikan. Tak ada pengecualian dalam hal ini. Ini pandangan mayoritas, dengan MUI sebagai acuannya yang kukuh.