Catatan Denny JA: Kutukan yang Diwariskan Turun Temurun
- Penulis : Ulil
- Jumat, 27 Desember 2024 10:08 WIB
-000-
Lama saya terdiam di tengah film. Ia mengajak saya merenung soal takdir dan rasa kesepian. Seolah sebebas apa pun dan sehebat apa pun kita melangkah, takdir dan rasa sepi selalu datang.
Tentu saja umumnya film tak bisa mengangkat keseluruhan kekayaan novel aslinya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Membawa Spirit para Sufi ke Era Artificial Intelligence
Serial 100 Years of Solitude di Netflix memang telah berusaha mengadaptasi mahakarya Gabriel García Márquez. Namun tak bisa menghadirkan keseluruhan kedalaman novel asli.
Meski secara visual memukau, serial ini menyederhanakan narasi yang kompleks, mengubah refleksi mendalam Márquez tentang waktu, takdir, dan kesepian menjadi drama yang mudah dicerna.
Realisme magis, yang menjadi jiwa novel ini, terasa dekoratif daripada organik, kehilangan harmoni antara mitos dan realitas.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Spiritualitas di Era Artificial Intelligence
Karakter yang begitu kaya dalam sastra, direduksi hingga kehilangan kedalaman emosionalnya. Dengan ambisi besar, serial ini lebih mengutamakan aksesibilitas daripada keaslian.
Ini adaptasi yang indah namun kurang mendalam dari eksplorasi abadi Márquez tentang siklus kehidupan manusia.
Tapi sebagai sebuah pengantar untuk masuk ke karya asli, serial film ini sudah sangat memadai. Ia sudah mampu menyentak kita soal takdir dan kesepian.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Forum Esoterika dan Enam Prinsip Emas Spiritualitas di Era Artificial Intelligence
“Seperti bayangan yang setia, takdir dan kesepian selalu mengikuti, meski kita berlari secepat angin.” ***