Di rumah kayu di Amsterdam,
Multatuli menggenggam pena.
Ia mendengar suara-suara
yang tak pernah sampai ke istana.

Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.

Ia menulis Max Havelaar,
novel tentang petani dan penindasan.
Suara itu menggema hingga istana.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Aktivis Ideologi Itu Memilih Menjadi Dokter

Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.

Elit Belanda membacanya dengan dada terbakar.
“Apakah ini yang kita banggakan?”

Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.

Baca Juga: Puisi Denny JA: Kubawa Cincin Janjiku

Politik etis lahir dari pena itu.
Sekolah-sekolah berdiri,
para pribumi belajar huruf dan kata.
Dari huruf itu mereka merangkai suara,
dari suara itu mereka mencipta obor,
dari obor itu mereka menerangi jalan,
menuju kemerdekaan.

Suasana berubah ketika ada yang menuliskannya.

Seperti gunung menyembunyikan kawah,
seperti sungai menyembunyikan deras,
tulisan membuka yang terkubur.
Kisah yang tersimpan ratusan tahun,
akhirnya memecah batu-batu kesunyian.

Baca Juga: Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya

Di ruangan ini, kita berkumpul.
Dari Aceh hingga Papua,
dari Asia Tenggara hingga Kairo.