Puisi Denny JA: Di Kereta Itu, Tak Ditemukannya Sepasang Mata Bola
- Penulis : Ulil
- Rabu, 04 September 2024 08:23 WIB
(Selesai aksi protes mahasiswa dan civil society atas RUU Pilkada dan masa depan demokrasi, Agustus 2024, seorang pengusaha yang dulunya aktivis, rindu suasana perjuangan)
POLITIKABC.COM - Di kereta api menuju Jogjakarta,
sia-sia ia cari sepasang mata bola.
Hidup memang memberinya singasana.
Sepatu dari emas.
Kacamata ditaburi berlian.
Tapi hatinya tetap seorang aktivis.
Rindu gelora.
Tersentuh pekik perjuangan.
Baca Juga: ORASI DENNY JA: Belajar Keberagaman dari Sayyidina Ali
Kereta melaju.
Dalam hening, ia mendengar kembali lagu itu:
“Hampir malam di Jogja.
Ketika keretaku tiba.
Remang-remang cuaca.
Terkejut aku tiba-tiba.
Dua mata memandang.
Seakan-akan ia berkata.
Lindungi aku pahlawan.
Daripada si angkara murka.
Sepasang mata bola.
Dari balik jendela.”1
Gelora aktivisnya meledak.
Dari jendela kereta, dipandangnya gedung dan pohon.
Tapi dibayangkannya suasana tahun 1945.
Orang-orang bergerak di jalan, bawa bambu runcing,
bersemangat,
pekik merdeka atau mati.
Ujarnya, “aku napak tilas ke Jogjakarta, di rel kereta yang dulu
membawa Bung Karno, Bung Hatta, Jenderal Sudirman.”
Baca Juga: 3 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Paus Fransiskus Tiba di Jakarta dan Spirit Keberagaman
Dibayangkannya bom meledak.
Serdadu Jepang berkeliaran di kereta.
Selesai menghayal,
ia pun berjalan di lorong kereta, dada membusung.
Tapi di kereta itu,
hanya dilihatnya wajah-wajah lelah,
tak lagi memancarkan cahaya.
Orang-orang duduk terpaku,
di bangku-bangku sunyi,
mata terpejam, namun tak terlelap,
mencari damai tak kunjung datang.
Di kereta itu, dilihatnya
hanya mereka yang letih, bukan karena medan perjuangan,
tapi beban hidup menumpuk di pundak,
mimpi terhimpit oleh kenyataan,
asa yang tergerus oleh kesulitan.
Ia terdiam. Di kereta, mengapa hanya ada wajah-wajah itu,
terlupakan oleh waktu,
gelisah oleh hidup tak pasti?
Wajah-wajah itu,
menyimpan cerita yang tak terucap,
tersembunyi di balik kerut dan kelam,
mereka berjuang, tapi tak lagi untuk bangsa,
tapi untuk bertahan,
hidup yang tak kenal ampun.
Di kereta,
tak ditemukannya sepasang mata bola, seperti yang dikisahkan lagu itu.***
(Ditulis di kereta api, Jakarta menuju Jogjakarta, 4 September 2024)
CATATAN
(1) Lagu “Sepasang Mata Bola,” digubah Ismail Marzuki di tahun 1946 untuk hal lain. Tapi melalui waktu, lagu ini dikonsepsikan untuk ikut mengenang dipindahkannya ibu kota dari Jakarta ke Jogjakarta.***