Ketika Orang Pintar Pun Jadi Jongos: Menyambut Pertunjukan Teater di Yogyakarta
- Penulis : Ulil
- Minggu, 21 Juli 2024 11:47 WIB

-000-
Teater memang telah lama dipakai sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial. Mereka memberi suara kepada yang tertindas, dan mengajak penonton untuk berpikir kritis tentang isu-isu masyarakat. (1)
Membaca naskah The Jongos, saya pun teringat simbolisme dari "The Crucible.”
Naskah ini ditulis oleh Arthur Miller pada tahun 1953. Drama ini menggambarkan perburuan penyihir Salem pada abad ke-17.
Tetapi itu sebenarnya adalah alegori untuk McCarthyism di Amerika Serikat pada 1950-an. Itu era ketika begitu banyak seniman, intelektual dan politisi yang diburu karena diduga bagian dari jaringan komunisme.
Perburuan atas komunis (diduga) abad 20 itu mirip seperti perburuan atas penyihir (diduga) abad 17.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Menangnya Gerakan “Katakan Tidak kepada Keharusan Berjilbab"
Miller memakai cerita tentang John Proctor, seorang petani yang dituduh sebagai penyihir tanpa bukti konkret. Ini untuk mengkritik paranoia yang menghancurkan kehidupan individu.
Pesan utama dari "The Crucible" adalah peringatan terhadap bahaya dari ketakutan kolektif. Ketidak adilan dapat terjadi ketika masyarakat dipenuhi kebencian plus prasangka, walau tidak berdasar.
Lalu The Jongos dan Hakim dalam teater Indra Trenggono dan Isti Nugroho ini simbolisme dari peristiwa apa?
Baca Juga: Pandangan Denny JA tentang Menangnya Gerakan Katakan Tidak kepada Keharusan Berjilbab
Apakah hakim dalam naskah itu untuk mengkritik Mahkamah Konsitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka maju di Pilpres 2024?