Kebermaknaan Lukisan AI Karya Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 15 Juni 2024 07:05 WIB
Oleh Isti Nugroho* POLITIKABC.COM- Kebudayaan, termasuk seni, bukan “pedati tua” yang lamban, melainkan wahana semacam kereta yang memiliki kecepatan di dalam menempuh perjalanan dan pencarian makna dan nilai peradaban. Ia tak pernah mandek. Karena itu, kata kunci dalam kebudayaan, adalah kontinuitas (kesinambungan, keberlanjutan, keberlangsungan). Hal yang sama juga pernah dinyatakan budayawan dan sastrawan Umar Kayam pada tahun 1980-an. Sepanjang manusia tetap hidup berkreasi dan berinovasi, kebudayaan tetap hadir untuk merespons dan menjawab berbagai tantangan kehidupan. Tantangan itu bisa berasal dari alam, lingkungan, spiritualitas, agama, etnisitas, politik, sosial, ekonomi, teknologi, konflik (perang, genosida) dan lainnya. Juga bisa datang dari jagat ide, di mana manusia perlu menemukan gagasan-gagasan dan karya baru. Ide-ide lama sudah dianggap mapan dan lapuk. Kehadiran pikiran dan gagasan menjadi penanda eksistensial manusia kreatif. Maka banyak pemikir bilang, “Aku berpikir, karena itu aku ada!” Olah pikir juga jadi penanda bahwa manusia tidak pernah stagnan. Derap kontinuitas kultural itu juga terasa ketika saya menikmati 182 lukisan berbasis AI karya Denny JA di Mahakam Residence 24. Lukisan-lukisan itu menjadi bagian penting dari dinamika kebudayaan yang terus berproses dan tidak akan selesai. Kreativitas dan inovasi yang melekat pada lukisan-lukisan berbasis AI karya Denny JA adalah salah satu terminal pencapaian ide-ide sosial dan ide-ide estetik-saintifik-teknologis yang memiliki masa depan kebudayaan. Kata kunci yang melekat dalam diri seniman kreatif adalah: tantangan untuk menciptakan masa depan kebudayaan. Dan Denny berada dan bekerja di dalamnya. Ada beragam tema lukisan yang menyerap atensi saya. Di antara tema kemurungan atau kemuraman yang beratmosfer perang di Gaza, Palestina, Ukraina, dan berbagai kekerasan sosial-politik di berbagai belahan dunia. Juga soal Covid 19 sampai euforia pilpres 2024 yang antara lain menampilkan sosok Joko Widodo, Prabowo Subianto, Gibran dan lainnya. Denny bergerak dari tema ke tema yang lain dengan sangat lincah. Realisme dihadirkan dalam kerumitan detail, komposisi warna, komposisi ruang, karakter goresan dan perspektif sehingga lukisan-lukisan itu memiliki kedalaman. Sepintas, orang mungkin tak menyangka bahwa semua lukisan itu hasil kolaborasi Denny dengan AI, karena menampilkan keunggulan secara teknis sehingga tidak tampak artifisial. Lewat lukisan-lukisannya, misalnya yang bertema kemuraman, Denny menghadirkan keprihatinan global yang dipicu perang dan berbagai kekerasan fisik-psikologis yang akhirnya melahirkan dehumanisasi. Lukisan-lukisan tersebut sarat nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, Denny tak hanya asyik berestetika tapi juga menghadirkan renungan yang dalam: bahwa kemanusiaan harus dibela dan dimenangkan. Kemanusiaan adalah puncak dalam pencapaian nilai melalui agama, sistem keyakinan, filsafat, politik, ekonomi dan lainnya. Bernard Shaw dan Eugene O’Neill Saya membayangkan, jika di dalam pameran lukisan karya Denny JA ini hadir dua tokoh sastrawan dan dramawan peraih Hadiah Nobel, Bernard Shaw dan Eugene O'Neill, pasti muncul protes. Baik Shaw maupun O'Neill tidak setuju jika seni diintervensi teknologi. Alasannya, “seni menjadi tidak murni atau otentik lagi”. Hal itu mereka nyatakan pada pertengahan abad 20. Yakni ketika semangat zaman masih kental berlumuran dengan romantisisme. Romantisme sangat memuja keaslian atau otentisitas: alam, manusia dan lingkungan. Romantisme berupaya menebus kondisi dunia yang tidak lagi utuh atau terpecah-pecah. Dalam konteks ini, mereka menganggap teknologi adalah salah satu ancaman potensial. Mereka ingin seni yang bersifat natural. Kembali pada pernyataan Umar Kayam di atas, kebudayaan selalu dinamis dan kata kuncinya adalah kontinuitas. Shaw dan O'Neill tidak keliru dengan pendapatnya soal kemurnian seni, tapi mereka juga harus bisa menerima kenyataan bahwa kebudayaan terus berproses. Ia selalu mencari nilai-nilai baru, keseimbangan-keseimbangan baru untuk menjaga kehidupannya. Tentu terjadi seleksi nilai. Hidup semakin modern dan pragmatis di mana nilai guna cenderung diutamakan. Hadirnya teknologi yang canggih tak bisa dilawan karena ia merupakan takdir sejarah dan kepastian peradaban. Maka, dalam konteks itu, kemunculan AI di dalam jagat seni, terutama lukisan, merupakan keniscayaan. Ia bersifat demokratis: bisa ditolak jika tidak suka dan cocok. Namun juga bisa diterima jika dipandang memiliki manfaat kultural. Dan, Denny JA telah memilih teknologi AI sebagai piranti alternatif untuk mengekspresikan kegelisahan kreatif-visualnya. Pilihan ini harus dihormati. Setiap zaman akan melahirkan anak-anaknya sendiri. Zaman Shaw dan O'Neill telah melahirkan anak-anak yang hidup dalam semangat romantisme di mana seni dipahami sebagai memetik atau tiruan kehidupan. Otentitas jadi hal utama. Teori dan Praksis Denny JA di mata saya adalah seorang pemikir tangguh dan pakar teori/sains yang gigih. Namun ia juga seorang praktisi yang total menjelajah ruang-ruang empirisme. Ini ditempuh demi memperjuangkan berbagai gagasan dan teorinya menjadi nyata, konkrit dan bermakna bagi kehidupan khalayak. Dalam konteks kultural, ia pun seorang penjelajah yang visioner di dalam membuka ruang-ruang kemungkinan. Berbagai pemikiran/gagasan Denny JA di bidang penelitian politik, telah mewujud jadi kenyataan. Di era pemilihan langsung masa Reformasi ia telah “melahirkan” banyak gubernur, bupati, walikota, bahkan juga presiden! Inilah kebermaknaan peran kultural Denny JA dalam ikut serta membangun nilai-nilai peradaban bangsa. Tentu di dalamnya termasuk penjelajahannya di bidang seni lukis dengan memanfaatkan AI sebagai “artisan” (alat bantu). Denny JA pasti sadar, secanggih-canggihnya AI tetap dalam kendali manusia. Karena manusia selalu menyifati kebesaran Tuhan sebagai Maha Kreator.*** *ISTI NUGROHO, aktivis Demokrasi dan Seniman, Direktur Yayasan Budaya Guntur 49 Jakarta