Memang tetap bisa diberikan kritik pada teater ini. Meski memukau secara visual, musikal ini kadang terlalu terpaku pada glamor permukaan, mengorbankan kedalaman emosional karakter.
Transformasi Andrea terasa tergesa-gesa, sementara Miranda kehilangan kompleksitas psikologisnya.
Pesan moralnya kuat, namun keindahan panggung terkadang menyelubungi cerita yang seharusnya menggugah jiwa lebih dalam.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Spiritualitas di Era Artificial Intelligence
Namun di teater itu, sosok Miranda mewakili obsesi menjadi sempurna, permata yang tersembunyi dalam kegelapan. Untuk menemukannya, kita kadang harus rela kehilangan cahaya yang kita genggam.
Kita teringat Alfred Adler soal inferiority Complex. Menurutnya, perfeksionisme justru sering muncul dari inferiority complex, rasa kurang berharga yang mendorong seseorang untuk membuktikan dirinya. (1)
Namun, obsesi terhadap kesempurnaan dapat mengorbankan keseimbangan hidup. Perfeksionis berisiko menghadapi kecemasan tinggi, kelelahan emosional, dan alienasi dari hubungan yang bermakna.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Forum Esoterika dan Enam Prinsip Emas Spiritualitas di Era Artificial Intelligence
Ini harga mahal demi ilusi kontrol absolut itu.
“Kesempurnaan adalah api yang tak pernah padam. Ia memberi cahaya, tetapi perlahan membakar, hingga yang tersisa hanya abu dari kehidupan yang seharusnya dinikmati.”*
London, 9 Januari 2025
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kutukan yang Diwariskan Turun Temurun
REFERENSI