Sekjen SATUPENA Satrio Arismunandar Sebut Peran Perempuan dalam Proses Perdamaian di Aceh Sering Diabaikan
- Penulis : Ulil
- Kamis, 28 November 2024 08:29 WIB
POLITIKABC.COM - Perempuan telah memainkan peran positif sebagai pendukung dan arsitek perdamaian bagi konflik bersenjata di Aceh, namun peran mereka sering diabaikan. Bahkan, mereka dikecualikan dari aspek formal proses perdamaian. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar menanggapi tema diskusi pahlawan perempuan Aceh dari masa ke masa. Diskusi daring di Jakarta, Kamis malam, 28 November 2024 itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.
Diskusi yang dikomentari Satrio Arismunandar itu akan menghadirkan narasumber Suraiya Kamaruzzaman, aktivis perempuan dan Co-Founder Flower Aceh. Diskusi itu akan dipandu oleh Mila Muzakkar dan Amelia Fitriani.
Satrio mengungkapkan, tahun 2005 menandai berakhirnya konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun di Aceh. Ada penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang mengakhiri konflik berkelanjutan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Meskipun perempuan tidak secara resmi terlibat dalam negosiasi MoU, mereka telah berperan penting dalam memastikan perdamaian yang berkelanjutan melalui upaya-upaya mereka di masyarakat,” tutur Satrio.
Namun, kata Satrio, perhatian yang diberikan pada peran perempuan dalam mencari solusi konflik di Aceh, upaya bertahan hidup mereka, atau keterlibatan mereka dalam pembangunan dan pembangunan perdamaian sangat minim.
Baca Juga: SATUPENA Peroleh Rekor MURI untuk Buku “Suara Penulis Soal Pemilu dan Demokrasi 2024”
“Bisa dipahami jika pada tahun 2000, Kongres Perempuan Seluruh Aceh yang pertama menyerukan partisipasi perempuan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan politik,” ujar Satrio.
Satrio menyebut Suraiya Kamaruzzaman sebagai salah satu aktivis hak asasi manusia dan tokoh perempuan Aceh, yang berperan penting dalam proses perdamaian di wilayah tersebut. Suraiya berperan dalam advokasi dan pemberdayaan perempuan.
Satrio menjelaskan, Suraiya adalah co-founder Flower Aceh, sebuah organisasi non-profit yang berfokus pada pemberdayaan dan perlindungan hak-hak perempuan di Aceh, terutama selama dan setelah konflik. Ia juga aktif dalam advokasi hak-hak ekonomi dan reproduksi perempuan.
Pada tahun 2000, Suraiya menjadi Ketua Komite Penyelenggara Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh), di mana ia terlibat dalam merancang rencana dan memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak.
“Suraiya telah menerima penghargaan perdamaian dari UNDP N-Peace Award pada 2012 atas upaya dan dedikasinya dalam peningkatan kapasitas dan advokasi pemenuhan hak perempuan di Aceh,” kata Satrio.
Suraiya, ucap Satrio, juga terlibat dalam advokasi hak-hak ekonomi dan reproduksi perempuan, serta memberikan analisis gender terhadap rancangan undang-undang di Indonesia yang relevan dengan resolusi 1325 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menurut Satrio, penghargaan UNDP ini mencerminkan pengaruh positif dan peran penting Suraiya dalam memperjuangkan perdamaian dan pemberdayaan perempuan di Aceh.***