POLITIKABC.COM - Di tahun 2024, sambil memainkan aplikasi kecerdasan buatan, anak muda itu merenungkan nasionalisme.
-000-
Di balik layar ponselnya, ia bertanya:
Apakah arti tanah air, di zaman tanpa batas ini?
Baca Juga: Puisi Denny JA: Kuburan Mereka Berserakan di Berbagai Negara
Negara adalah peta yang kabur di ujung jari,
batas-batasnya larut dalam pixel dan kode.
Tapi, di antara getar algoritma dan sinyal digital,
datang bisikan dari jauh, dari tahun 1928.
Sejarah bersimpuh di hadapannya.
Di langit, nampak leluhur menggali akar,
menyatukan suku, bahasa, dan agama.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Seniman yang Tak Kembali
Dari Sumatra hingga Papua, sumpah pun diikrarkan.
Satu bahasa, satu tanah air, satu bangsa: Indonesia.
Mereka memahat impian dari luka dan air mata,
menjahit setiap perbedaan dalam simpul kuat.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Aktivis Ideologi Itu Memilih Menjadi Dokter
Mantra itu menjadi akar yang menembus dalam, meneguhkan tanah air yang belum bernama, namun menyala dalam jiwa.
Ia, Darta, hidup di era digital yang tanpa batas.
Ia melihat dunia berbaur menjadi satu,
di antara pixel, kode, dan bising algoritma.1
Dalam riuh suara global yang tumpang tindih,
tanah airnya bagai nada dasar yang terus bergema,
nada yang tak terhapus.
Baca Juga: Puisi Denny JA: Kubawa Cincin Janjiku
Darta juga terheran:
“Di jantung algoritma yang tanpa rimba,
mengapa cintaku pada tanah air tetap berakar,
seperti embun pada daun yang enggan jatuh,
meski musim berganti dan waktu tak mengijinkannya."
Dunia digital mencairkan batas negara,
tapi tanah air bukan sekadar garis di peta;
ia ikatan yang merasuk jiwa,
melekat erat di setiap rasa.
Bahasa digital meleburkan segala suara,
tapi bahasa nasional bukan sekadar kata;
ia gema dalam dada,
jejak identitas yang kita bawa.
Baca Juga: Storytelling Melalui Puisi Esai tentang LGBT dan Lainnya
Di hatinya, tumbuh warna tanah yang tak tergantikan,
identitasnya berpadu dalam cinta yang tak kasat mata,
menjadi akar yang tak tampak namun kuat.
Sekarang, ia bicara dengan bahasa algoritma,
namun hatinya tetap bernada Indonesia.
Informasi memang tak mengenal batas.
Sinyal mengaburkan jarak.
Tapi cinta tanah air tetap tumbuh dalam senyap.
Sejarah memberinya memori.
Negara memberinya identitas.
Tanah air memberi rumah untuk pulang.
Bali, 14 Oktober 2024 ***
CATATAN
(1) Arti Nasionalisme di era digital, di era AI, kini menjadi renungan baru. Baca selengkapnya dengan klik tautan ini: BACA